Dewa Dewa Romawi

Dewa Dewa Romawi

Konten komunitas ada dibawah

atau ada pernyataan lain.

Dewa-dewi Romawi yang paling dikenal dewasa ini adalah dewa-dewi yang disamakan bangsa Romawi dengan dewa-dewi Yunani yang sebanding (lih. interpretatio graeca). Bangsa Romawi memasukkan mitos-mitos, ikonografi, dan kadang-kadang pula amalan-amalan keagamaan Yunani ke dalam kebudayaan mereka sendiri, antara lain di bidang sastra, seni rupa, dan kehidupan beragama di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi. Banyak dewa-dewi asli Romawi yang tidak begitu jelas hal-ihwalnya, lantaran hanya nama dan kadang-kadang fungsinya saja yang dapat diketahui dari prasasti dan karya sastra yang sering kali sudah tidak utuh lagi. Ketidakjelasan semacam ini pada khususnya didapati pada dewa-dewi agama purba yang dianut bangsa Romawi sebelum zaman raja-raja, yang diistilahkan sebagai "agama Numa", suatu sistem kepercayaan yang terlestarikan dari abad ke abad atau dihidupkan kembali pada masa pemerintahan Numa Pompilius. Beberapa dewa-dewi purba Romawi memiliki padanan Itali atau Etruskinya, sebagaimana diidentikkan oleh sumber-sumber kuno maupun para peneliti modern. Dewa-dewi yang dipuja di daerah-daerah jajahan Kekaisaran Romawi diberi tafsir-tafsir teologis yang baru berdasarkan kemiripan fungsi atau tabiat dengan dewa-dewi Romawi.

Daftar alfabetis di bawah ini mengikuti pengelompokan dewa-dewi yang dibuat bangsa Romawi sendiri.[1] Untuk amalan memuja kaisar-kaisar Romawi yang dipertuhan (divus), baca artikel pemujaan kaisar.

Gelar dan sebutan tertentu dapat saja diberikan kepada lebih dari satu dewata, personifikasi nilai luhur, insan ardadewata, dan divus (insan yang dipertuhan).

Augustus, artinya "yang mulia" (bentuk maskulin), adalah sebutan penghormatan sekaligus gelar yang dianugerahkan kepada Oktavianus sebagai tanda pengakuan akan statusnya yang unik, rentang kewenangannya yang luar biasa, dan restu nyata dewata atas kepemimpinannya. Sesudah Oktavianus wafat dan dipertuhan, gelar ini dianugerahkan kepada para penggantinya. Augustus juga menjadi sebuah gelar yang cukup mendunia untuk berbagai macam dewa-dewi rendahan lokal, antara lain para Lares Augusti yang dipuja komunitas-komunitas lokal, dan dewa-dewi daerah jajahan yang tidak begitu jelas semisal Marazgu Augustus di Afrika Utara. Pemberian sebuah gelar yang disandang kaisar kepada dewa-dewi teras maupun rendahan, baik di Roma maupun di daerah-daerah jajahannya, dianggap sebagai tampilan tingkat terbawah dari kultus pemujaan kaisar.

Augusta, bentuk feminin dari Augustus, adalah sebutan takzim dan gelar yang erat kaitannya dengan pertumbuhkembangan dan penyebarluasan kultus pemujaan kaisar. Gelar ini diberikan kepada para permaisuri kaisar Romawi, baik yang masih hidup, yang sudah wafat, maupun yang dipertuhan (diva). Augusta yang pertama adalah Livia, permaisuri Oktavianus. Gelar ini kemudian hari diberikan kepada dewi-dewi kenegaraan, antara lain Bona Dea, Seres, Iuno, Minerva, dan Ops; kepada dewi-dewi rendahan atau lokal; dan kepada dewi-dewi personifikasi nilai luhur seperti Pax dan Viktoria.

Dalam ideologi kekaisaran, epitet Bonus, artinya "yang baik," dilekatkan kepada dewa-dewi mujarad semisal Bona Fortuna (Peruntungan Baik atau Kemujuran), Bona Mens (Fikrah Baik atau Akal Waras), dan Bona Spes (Harapan Baik atau Optimisme). Pada zaman republik, epitet ini lebih lekat dengan sosok Bona Dea, "Dewi Baik" yang dipuja kaum wanita. Bonus Eventus (Hasil Baik) adalah salah satu dari dua belas dewa-dewi pertanian menurut pujangga Varro, tetapi kemudian hari melambangkan kejayaan atau keberhasilan pada umumnya.[2]

Sejak pertengahan zaman kekaisaran, gelar Caelestis, artinya "surgawi" atau "samawi", dilekatkan kepada dewi-dewi yang mengejawantahkan aspek-aspek dari satu dewi samawi tertinggi. Dea Caelestis disamakan dengan rasi bintang Virgo (Kanya), yang memegang neraca keadilan. Di dalam novel Metamorphoses karangan Apuleius,[3] tokoh utama Lucius diceritakan berdoa kepada dewi Mesir Helenistis, Isis, selaku Regina Caeli (Rani Samawi), yang konon bermanifestasi pula sebagai Seres, "bunda pemelihara asali"; sebagai Venus Samawi (Venus Caelestis); sebagai "saudari Phoebus", yakni Diana atau Artemis yang dipuja di Efesus; maupun sebagai Proserpina selaku tridewi pratala. Iuno Caelestis adalah versi Romawi dari Tanit, dewi bangsa Kartago.[4]

Menurut kaidah tata bahasa Latin, bentuk tasrifan Caelestis juga dapat dilekatkan pada kata benda maskulin, tetapi sifat "surgawi" atau "samawi" untuk dewa biasanya diungkapkan melalui sinkretisasi dengan Caelus, misalnya Caelus Aeternus Iuppiter (Yupiter Angkasa Abadi).

Invictus, artinya "tak tertaklukkan" atau "tak terkalahkan", digunakan sebagai salah satu epitet ketuhanan pada awal abad ke 3 SM. Pada zaman kekaisaran, epitet ini mengungkapkan sifat tidak terkalahkan dari dewa-dewa yang dipuja secara resmi, seperti Yupiter, Mars, Herkules, dan Sol. Pada inskripsi uang logam, penanggalan, dan inskripsi-inskripsi lain, Merkurius, Saturnus, Silvanus, Fons, Serapis, Sabazius, Apolo, dan Genius juga digelari Invictus. Pujangga Cicero menganggapnya sebagai epitet yang lumrah bagi Yupiter, yang mungkin sekali merupakan sinonim dari gelar Omnipotens bagi dewa itu. Invictus juga dipakai di dalam pemujaan-pemujaan rahasia terhadap Mitras.[6]

Mater, artinya "ibu", adalah sebutan takzim sebagai tanda hormat kepada wewenang maupun fungsi-fungsi keibuan para dewi, dan tidak semata-mata bermakna "ibu dari" seseorang atau sesuatu. Contoh-contoh tertua adalah Terra Mater (Ibu Pertiwi) dan Mater Larum (Ibu para Lares). Vesta, dewi kemurnian, yang biasanya dibayangkan sebagai seorang perawan, justru dihormati sebagai Mater. Dewi yang disebut Stata Mater adalah dewata persimpangan (dewa-dewi yang dipuja di simpang jalan) yang dianggap berjasa mencegah kebakaran di kota Roma.[7]

Sejak pertengahan zaman kekaisaran, permaisuri kaisar yang sedang menjabat dihormati sebagai Mater castrorum et senatus et patriae (ibunda perkemahan-perkemahan prajurit, senatus, dan tanah air). Pasukan berkuda (auxilia) Galia dan Jermani di dalam angkatan bersenjata Kekaisaran Romawi secara teratur mendirikan altar-altar pemujaan "para ibunda tanah lapang" (Campestres, dari kata campus, "tanah lapang," dengan gelar Matres atau Matronae).[8] Baca juga Magna Mater di bawah.

Para dewa disebut Pater, artinya "bapak", untuk menonjolkan keutamaan dan pemeliharaan mereka, ibarat perhatian ayah kepada anaknya, sekaligus sebagai tanda bakti pemujanya, ibarat bakti anak kepada ayahnya. Pater didapati sebagai epitet sejumlah dewa, antara lain Dis, Yupiter, Mars, dan Liber.

Magna Mater, artinya "ibu agung", adalah gelar yang diberikan kepada Kibele di Roma. Beberapa sumber pustaka Romawi menggunakan istilah yang sama untuk menggelari Maia dan dewi-dewi lain.[9]

Bahkan pada saat menyeru dewa-dewi, yang pada umumnya mengharuskan penyebutan nama dewa atau dewi yang bersangkutan secara tepat, bangsa Romawi kadang-kadang menyebut nama kelompok yang mencakup beberapa dewa-dewi sekaligus, alih-alih menyebut nama dewa-dewi tersebut satu per satu. Beberapa kelompok dewata, misalnya Camenae dan Parcae, diduga beranggotakan dewa-dewi dalam jumlah terbatas, kendati angkanya mungkin saja tidak konsisten dari zaman ke zaman dan dari karya tulis ke karya tulis. Meskipun demikian, dewa-dewi di dalam kelompok-kelompok berikut ini tidak tertentu jumlahnya.

Pujangga Varro memilah dewa-dewi Romawi menjadi tiga golongan menurut alamnya, yaitu langit, bumi, dan pratala:

Yang lebih lazim adalah kontras dualistis antara superi dan inferi.

Di indigetes, menurut dugaan Georg Wissowa, adalah dewa-dewi pribumi Roma, kontras dengan di novensides atau novensiles, "dewa-dewi pendatang baru". Kendati demikian, tidak ada sumber kuno yang menyajikan dikotomi semacam ini, yang juga tidak berterima umum di kalangan sarjana abad ke-21. Arti epitet indiges (bentuk tunggal dari indigetes) tidak kunjung disepakati para sarjana, sementara epitet noven mungkin saja berarti "sembilan" (novem) alih-alih "baru".

Lectisternium adalah acara perjamuan yang diselenggarakan bagi dewa-dewi. Dalam acara ini, citra-citra dewa-dewi ditakhtakan di atas katil makan (hadirin dalam acara perjamuan Romawi tidak duduk di kursi melainkan berbaring di katil), seakan-akan hadir dan menikmati jamuan. Dalam uraiannya tentang lectisternium dua belas dewa-dewi besar pada tahun 217 SM, Livius, sejarawan zaman Agustus, mencantumkan nama dewa-dewi tersebut secara berpasang-pasangan:[13]

Tindakan memasangkan dewa-dewi semacam ini, maupun pengaruh antropomorfis dari mitologi Yunani, menimbulkan suatu kecenderungan di bidang kesusastraan Latin untuk menampilkan dewa-dewi sebagai pasangan "suami istri" atau sepasang kekasih (misalnya pasangan Venus-Mars).

Pujangga Varro menggunakan istilah Dii Consentes sebagai nama kelompok bagi dua belas dewa-dewi yang arcanya disepuh emas dan ditempatkan di forum (alun-alun). Dewa-dewi tersebut juga digambarkan berpasang-pasangan.[14] Meskipun nama-namanya tidak disebutkan, diduga dewa-dewi yang dimaksud adalah dua belas dewa-dewi besar yang dipuja dalam upacara lectisternium. Salah satu fragmen karya tulis Enius, pujangga yang hidup pada masa kemunculan upacara lectisternium, memuat daftar dua belas dewa-dewi lectisternium dengan nama yang sama tetapi dalam urutan yang berbeda dari daftar yang disusun pujangga Livius, yaitu Yuno, Vesta, Minerva, Seres, Diana, Venus, Mars, Merkurius, Yupiter, Neptunus, Vulkanus, Apolo.[15]

Dii Consentes kadang-kadang dipandang sebagai padanan Romawi untuk dewa-dewi Olimpos Yunani. Kata consentes dapat ditafsirkan macam-macam, tetapi lazimnya dianggap mengisyaratkan bahwa dewa-dewi tersebut membentuk suatu dewan atau majelis permusyawaratan dewa-dewi.

Pujangga Varro[18] menyajikan daftar 20 dewa-dewi utama di dalam kepercayaan bangsa Romawi:

Pujangga Varro, yang masih berdarah Sabini, menyajikan daftar dewa-dewi bangsa Sabini yang diadopsi bangsa Romawi:

Untuk dewa-dewi rendahan yang hanya memiliki satu fungsi atau satu nama saja, lihat:

Sejumlah tokoh mitologi Yunani yang tidak menjadi bagian dari sistem kepercayaan bangsa Romawi muncul di dalam narasi-narasi mitologis Latin dan sebagai alusi-alusi puitis; untuk nama tokoh-tokoh tersebut, lihat:

Templat:Daftar tokoh mitologi menurut kawasan Templat:Kepercayaan bangsa Romawi

Dewa Dewi Yunani Romawi Tia

Q) How many trains pass through the Dewa Railway Station (DEWA)?

A) There are 0 trains that pass through the Dewa Railway station. Some of the major trains passing through DEWA are - (, , etc).

Q) What is the correct Station Code for Dewa Railway Station?

A) The station code for Dewa Railway Station is 'DEWA'. Being the largest railway network in the world, Indian Railways announced station code names to all train routes giving railways its language.

Q) Dewa Railway Station falls under which zone of Indian Railways?

A) Indian Railway has a total of 17 railway zone. Dewa Railway station falls under the Western Railway zone.

Q) How many platforms are there at the Dewa Railway Station (DEWA)?

A) There are a total of 0 well-built platforms at DEWA. Book you IRCTC ticket on RailYatri app and RailYatri Website. Get easy access to correct Train Time Table (offline), Trains between stations, Live updates on IRCTC train arrival time, and train departure time.

Q) When does the first train arrive at Dewa (DEWA)?

A) Dewa Railway station has many trains scheduled in a day! The first train that arrives at Dewa is at at hours. Download the RailYatri app to get accurate information and details for the Dewa station trains time table.

Q) When does the last train depart from Dewa Railway Station?

A) The last train to depart Dewa station is the at .

Dewa adalah entitas supranatural yang menguasai unsur-unsur alam atau aspek-aspek tertentu dalam kehidupan manusia. Mereka disembah, dianggap suci, dan keramat, serta dihormati oleh manusia. Mereka yang berjenis kelamin pria disebut "Dewa", sedangkan "Dewi" adalah sebutan untuk yang berjenis kelamin wanita.

Dewa er d'jie memiliki bermacam-macam wujud, biasanya berwujud manusia atau hewan. Mereka hidup abadi dan memiliki kepribadian masing-masing. Mereka memiliki emosi dan kecerdasan seperti layaknya manusia. Beberapa fenomena alam seperti petir, hujan, banjir, badai, dan sebagainya, termasuk keajaiban dihubungkan dengan mereka sebagai pengatur alam. Mereka dapat pula memberi hukuman kepada makhluk yang lebih rendah darinya. Beberapa dewa tidak memiliki kemahakuasaan penuh, sehingga mereka disembah dengan sederhana.

Kata "dewa" dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dewa atau daiwa (bahasa Sanskerta), yang berasal dari kata diw (bahasa India-Iran), yang berasal dari kata deiwos atau deywos (bahasa Proto-India-Eropa), yang merupakan turunan dari kata diw atau dyew yang bermakna "langit, surga, cahaya, atau bersinar". Kata dewa dalam bahasa Inggris (deity) berasal dari deité (bahasa Prancis Pertengahan), yang berasal dari deus (bahasa Latin), yang berasal dari devos atau deiuos (bahasa Latin Lama), yang berasal dari deiwos (bahasa Proto-Italia), yang pada akhirnya memiliki akar serupa dengan kata "dewa" dalam bahasa Indonesia, yaitu kata diw atau dyew dalam bahasa Proto-India-Eropa. Kata dewa sama sekali tidak ada hubungannya dengan kata devil (iblis, setan).

Istilah dewa diidentikkan sebagai makhluk suci yang berkuasa terhadap alam semesta. Meskipun pada aliran politeisme menyebut adanya banyak tuhan, tetapi dalam bahasa Indonesia, istilah yang dipakai adalah "dewa" (contoh: dewa Zeus, bukan tuhan Zeus). Biasanya istilah dewa dipakai sebagai kata sandang untuk menyebut penguasa alam semesta yang jamak, bisa dibayangkan dan dilukiskan secara nyata, sedangkan istilah tuhan dipakai untuk penguasa alam semesta yang maha tunggal dan abstrak, tidak bisa dilukiskan, tidak bisa dibayangkan.

Hubungan dengan manusia

Para dewa dipercaya sebagai makhluk yang tak tampak dan tak dapat dijangkau. Mereka hidup di tempat-tempat suci atau tempat-tempat yang jauh dari jangkauan manusia, seperti surga, neraka, di atas langit, di bawah Bumi, di lautan yang dalam, di atas puncak gunung tinggi, di hutan belantara, tetapi dapat berhubungan dengan manusia karena manifestasi atau kekuatan supranaturalnya. Dalam beberapa agama monoteistik, Tuhan dianggap tinggal di surga namun karena kemahakuasaannya Dia juga ada di mana-mana sehingga dapat berhubungan dengan makhluq-Nya kapanpun dan di mana pun, tetapi secara kasatmata. Dalam pandangan umat beragama (monoteistik, politeistik, panteistik) sesungguhnya Tuhan ada di mana-mana, tetapi untuk memuliakannya Dia disebutkan tinggal di surga.

Dalam politeisme, para dewa digambarkan sebagai makhluk yang memiliki emosi dan wujud seperti manusia, sangat berkuasa, dan antara manusia dan para dewa ada perbedaan yang sangat menonjol. Para Dewa tinggal di surga sedangkan manusia tinggal di bumi. Karena para dewa tinggal di surga, maka para dewa memiliki kekuasaan dan kesaktian untuk mengatur, menghukum atau memberkati umat manusia. Sementara para dewa berkuasa, maka manusia memujanya dan memberikan persembahan agar dibantu dan diberkati oleh kemahakuasaan-Nya.

Dalam agama yang menganut paham monoteisme, dewa hanya satu dan sebutan tuhan adalah sebutan yang umum dan layak. tuhan merupakan sesuatu yang supranatural, menguasai alam semesta, maha kuasa, tidak dapat dibayangkan dan tidak bisa dilukiskan. Agama monoteisme enggan untuk mengakui adanya dewa-dewa karena dianggap sebagai tuhan tersendiri.

Dalam agama Hindu dan Buddha, meskipun meyakini satu tuhan, tetapi ada makhluk yang disebut dewa yang diyakini di bawah derajat tuhan. Dalam filsafat Hindu, para dewa tunduk pada sesuatu yang mahakuasa, yang mahaesa, dan yang menciptakan mereka yang disebut Brahman (sebutan Tuhan dalam agama Hindu). Dalam agama Buddha, para dewa bukanlah makhluk sempurna dan memiliki wewenang untuk mengatur umat manusia. Para dewa tunduk pada hukum mistik yang mengikat diri mereka pada karma dan samsara.

Dalam hal ini, tuhan adalah sesuatu yang agung dan mulia, tidak bisa disamakan dengan dewa dan tidak ada yang sederajat dengannya. Meskipun ada agama yang meyakini banyak dewa (seperti Hindu dan Buddha) namun jika memiliki konsep Ketuhanan yang Maha Esa, para dewa dianggap sebagai makhluk suci atau malaikat dan tidak sederajat dengan tuhan.

Dalam tradisi agama Hindu umumnya, para dewa (atau "deva", "daiwa") adalah manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa (Brahman). Para dewa merupakan pengatur kehidupan dan perantara tuhan dalam berhubungan dengan umatnya. Dewa-dewi tersebut seperti: Brahma, Wisnu, Siwa, Agni, Baruna, Aswin, Kubera, Indra, Ganesa, Yama, Saraswati, Laksmi, Surya, dan lain-lain.

Karena ditemukan konsep ketuhanan yang maha esa, dewa-dewi dalam agama Hindu bukan tuhan tersendiri. Dewa-dewi dalam agama Hindu hidup abadi, memiliki kesaktian dan menjadi perantara tuhan ketika memberikan berkah kepada umatnya. Musuh para dewa adalah para asura. Menurut agama Hindu, para dewa tinggal di suatu tempat yang disebut Swargaloka atau Swarga, suatu tempat di alam semesta yang sangat indah, sering disamakan dengan surga. Penguasa di sana ialah Indra, yang bergelar raja surga, atau pemimpin para dewa.

Dalam Buddhisme, dewa merupakan makhluk yang tidak setara dengan manusia, memiliki kesaktian, hidup panjang, tetapi tidak abadi. Buddhisme mengenal banyak dewa, tetapi mereka tidak dianggap sebagai Tuhan. Tidak seperti keyakinan Hindu, Buddhisme menyatakan bahwa para dewa tidak sempurna dan tidak Maha Kuasa. Mereka (para dewa) adalah makhluk yang juga sedang dalam usaha mencari kesempurnaan hidup. Dalam kosmologi Buddhisme, para dewa tinggal di Alam Dewa dan Alam Brahma. Sebutan 'brahma' secara khusus diberikan pada dewa yang berkedudukan lebih tinggi.

Sementara itu, Buddhisme awal secara moral tidak mengecam pemberian persembahan secara damai kepada dewa-dewi. Sepanjang sejarah agama Buddha, pemujaan dewa-dewi, sering kali berasal dari keyakinan pra-Buddhis dan animis, kemudian disesuaikan menjadi praktik dan kepercayaan Buddhis. Sebagai bagian dari proses itu, dewa-dewi tersebut dinyatakan sebagai bawahan dari Tiga Permata.[1]

Menurut catatan sejarah, bangsa Mesir Kuno menyembah banyak Dewa dan belum menemukan paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut kepercayaan Mesir Kuno, para Dewa merupakan makhluk-makhluk yang lebih berkuasa daripada umat manusia dan mengatur aspek-aspek kehidupan umat manusia. Mereka memberkati manusia, melindungi manusia, menghukum manusia, dan mencabut ajal manusia. Dewa-Dewi dalam kepercayaan bangsa Mesir Kuno merupakan penguasa setiap bagian dan unsur alam. Para Dewa merupakan Tuhan tersendiri sesuai dengan kemahakuasaan yang dimilikinya. Para Dewa yang menentukan nasib setiap orang.

Bangsa Mesir Kuno sangat memuliakan Dewa mereka.Tempat memuja para Dewa dan sesuatu yang berkaitan dengan para Dewa (seperti kitab, pusaka, dan kutukan) sangat dikeramatkan. Konon makam-makam para Raja dan kuil-kuil Mesir dilindungi Dewa dan mengandung suatu kutukan bagi orang yang berniat jahat. Pada zaman Mesir Kuno, Dewa yang banyak dipuja dan dianggap sebagai Dewa tertinggi adalah Dewa matahari, Ra (Amon-Ra). Ia merupakan Dewa yang banyak disembah di daratan Mesir. Kuil Abu Simbel didirikan untuk memujanya. Setelah itu, Dewa yang banyak dipuja adalah Osiris, Dewa kehidupan alam, penguasa akhirat. Selain itu, juga ada Anubis, Dewa kegelapan

Menurut mitologi Yunani, para Dewa adalah makhluk yang lahir seperti manusia, tetapi memiliki kemahakuasaan untuk mengatur kehidupan manusia. Mereka mengatur aspek-aspek dalam kehidupan manusia. Mereka tidak pernah sakit dan hidup abadi. Setiap Dewa memiliki kemahakuasaan tersendiri sesuai dengan kepribadiannya.

Nenek moyang para Dewa adalah Khaos. Para Titan adalah anak Gaia, keturunan Khaos. Para Titan (mitologi) melahirkan Dewa-Dewi Yunani, seperti Zeus putera Kronos, yang selanjutnya Zeus melempar para Titan (mitologi) dan akhirnya ia bersama para Dewa yang lain menjadi makhluk yang berkuasa dan mengatur kehidupan manusia.

Menurut mitologi Yunani, para Dewa tidak tinggal di surga, tetapi tinggal di Gunung Olimpus. Di sana mereka berkumpul dan dipimpin oleh Zeus, raja para Dewa. Sebelum kedatangan agama Kristiani, penduduk Yunani menyembah para Dewa. Mereka membuatkan kuil khusus untuk masing-masing Dewa. Dewa-Dewi yang dipuja tersebut, misalnya: Zeus, Hera, Ares, Poseidon, Afrodit, Demeter, Apollo, Artemis, Hermes, Athena, Hefaistos, Hades, Helios, dan lain-lain.

Mitologi Romawi hampir sama dengan mitologi Yunani, hanya saja nama dewanya menggunakan nama-nama Romawi. Zeus disebut Jupiter, Hera disebut Juno, Ares disebut Mars, Poseidon disebut Neptunus, Afrodit disebut Venus, Demeter disebut Keres, Apollo disebut Cupid, Artemis disebut Diana, Hermes disebut Merkurius, Athena disebut Minerva, Hefaistos disebut Vulkan, Hades disebut Pluto, Helios disebut Sol, Saturnus, Uranus, Fortuna, dan lain-lain.

Dalam mitologi Nordik, para Dewa merupakan makhluk yang mahakuasa, seperti manusia namun hidup abadi. Mereka bersaudara, beristri dan memiliki anak. Para Dewa dibagi menjadi dua golongan, Æsir dan Vanir. Æsir adalah Dewa-Dewi langit, sedangkan Vanir adalah Dewa-Dewi bumi. Æsir tinggal di Asgard sedangkan Vanir tinggal di Vanaheimr.

Menurut mitologi Nordik, para Dewa tidak terkena penyakit dan tidak terkena dampak dari usia tua. Para Dewa hidup abadi meskipun dapat terbunuh dalam pertempuran. Para Dewa menjaga keabadiannya dengan memakan buah apel dari Iðunn, Dewi kesuburan dan kemudaan. Para Dewa mampu bertahan hidup sampai Ragnarok tiba.

di kamus bebas Wiktionary.

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

25 Songs, 1 hour, 59 minutes